Archive for Juni, 2010


Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menjanjikan kemitraan antara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri). Merujuk Pasal 222 UU 32/2004, setiap anggota DPD harus berjuang untuk kepentingan daerah sembari mempererat kerjasama dengan Kemdagri, karena koordinasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah dilakukan oleh Mendagri.

“DPD mitra kami. Saudara terdekat kami adalah DPD,” ucapnya menanggapi anggota Komite I DPD Ferry FX Tinggogoy (anggota DPD asal Sulawesi Utara) dan I Wayan Sudirta (Bali) di Ruangan Komite I DPD lantai 2 Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan.  Komite I DPD dipersilakan mendalami persoalan kedaerahan, menyangkut kebijakan yang telah, sedang, dan akan dilakukan Kemdagri.

Arti kata mitra adalah teman, kawan, pasangan, rekan. Jadi, kemitraan merupakan hubungan atau jalinan antara pihak pertama dan kedua yang selevel, bertumpu pada saling mempercayai, saling bekerjasama, dan saling menghargai.

Belum lama rapat kerja (raker) dimulai, Ferry dan Wayan menginterupsi. Bagi Ferry, Komite I DPD kesulitan bertemu Mendagri, padahal banyak persoalan kedaerahan yang keburu diselesaikan. Maka, waktu raker harus diperpanjang. “Terkandung hasrat agar Pak Menteri mengalokasikan waktu yang lebih. Banyak yang mau dibicarakan. Kalau hari ini Pak Menteri berkorban untuk DPD, insya Allah akan diterima-Nya,” ujar Ferry.

Wayan memperkuat pernyataan Ferry. “Kalau dicari-cari, Kementerian yang terdekat dan terkait erat dengan DPD adalah Kemdagri. Kalau dibalik-balik, lembaga negara yang terdekat dan terkait erat dengan Kemdagri adalah DPD. Makanya, waktu raker yang berharga ini jangan disia-siakan. Terlalu sering mengundang Mendagri pun tak bagus, kesempatan ini pun tiba.”

DPD jarang mengundang Mendagri ketimbang DPR. Karenanya, Wayan meminta Mendagri bersikap luwes, begitu pun pimpinan Komite I DPD tidak membatasi omongan anggota Komite I DPD. Sependapat dengan Ferry, jika persoalan kedaerahan yang banyak tidak terselesaikan maka masyarakat akan mempertanyakan eksistensi DPD.

Ia meminta kesamaan persepsi dan komitmen. Jika anggota Komite I DPD mengungkap persoalan kedaerahan maka pejabat Kemdagri harus meresponnya. Berbeda dengan pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang sebelumnya tidak merespon persoalan yang diungkap anggota Komite I DPD.

“Saya kecewa. Ketika pejabat itu ke DPD, mereka sangat sopan dan menghargai kami. Tetapi, begitu anggota DPD ke kantor BPN, mereka bergaya feodal dan sombong luar biasa. Saya belum 24 jam mengalaminya.”

Berbekal pengalaman itu, kalau anggota DPD berkunjung ke Kemdagri, Wayan meminta pejabat Kemdagri jangan memperlakukan anggota DPD seperti pejabat negara yang luar biasa. “Kami diperlakukan biasa-biasa saja. Tapi, pejabat itu jangan bergaya feodal dan sombong luar biasa. Kejadian itu jangan terulang lagi.”

Menanggapinya, Gamawan mengatakan, “Insya Allah, saya janji, kalau Pak Wayan ke kantor kami akan diperlakukan seperti pejabat negara lainnya. Semua anggota DPD akan diperlakukan seperti pejabat negara.”

Apalagi, eksistensi anggota DPD sebagai pejabat negara disebut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa kehormatan sebagai anggota DPD dijamin negara. “Tidak akan terjadi di kantor kami seperti yang Pak Wayan risaukan. Kalau terjadi, laporkan kepada saya. Saya jamin.”

Karena masih dibutuhkan keterangan tambahan, terutama isu-isu strategis dan prinsipil, Komite I DPD kembali menjadwal raker dengan Mendagri. “Raker hari ini merupakan pertemuan lanjutan,” ujar Ketua Komite I DPD Farouk Muhammad (Nusa Tenggara Barat). Tidak seperti biasa, raker kali ini sejak pagi hingga shalat Ashar. Biasanya, raker dimulai pagi dan berakhir menjelang shalat Dzuhur.

Farouk berharap, kalau ada persoalan teknis maka penyelesaiannya dengan direktur jenderal. Komite I DPD menemukan banyak persoalan kedaerahan seperti otonomi daerah, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, tata ruang, pertanahan, dan single identity number (SIN). “Berbagai persoalan tersebut membutuhkan perhatian dan penyelesaian yang serius,” katanya.

Wayan juga menekankan, lima tahun pertama sebagai anggota DPD ia mengaku kecewa setiap selesai mengikuti raker dengan menteri. “Kok setiap raker waktunya pendek. Pertanyaan dilemparkan, harapan disampaikan, tapi jawaban menteri normatif tanpa tindak lanjut,” ujarnya. Ia berharap, raker kali ini efektif dan efisien serta menyelesaikan persoalan.

Ia mengatakan, banyak anggota DPD periode lalu yang bagus kualifikasinya tetapi tidak terpilih kembali di pemilu berikutnya karena setiap raker dengan menteri terkait tidak menghasilkan solusi yang menyelesaikan persoalan di daerah. “Mengapa? Karena aspirasi tidak terselesaikan. Di daerah, kami ditagih. Padahal, teman-teman yang menyampaikan aspirasi itu tidak mengada-ada.”

Gamawan berjanji, setiap persoalan di daerah yang diungkap anggota DPD akan ditindaklanjuti Kemendagri. Dan, tindak lanjut kesepakatan antara DPD dengan Kemendagri akan dievaluasi saat raker berikutnya agar pelaksanaannya terkelola dan penyelesaiannya tercapai. “Kalau saya janji (tindaklanjutnya) tiga bulan, kita evaluasi (pelaksanaannya). Kalau saya janji enam bulan, kita evaluasi. Jadi, tidak lepas begitu saja.”

Ferry juga menyinggung jika DPD mengadakan pertemuan dengan stakeholder di daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Karena bulan Maret 2010 DPD akan segera bekerja di daerah maka diperlukan petunjuk pelaksana peraturan perundang-undangan yang mengatur pertemuan tersebut. “Menjadi pertanyaan, kalau sekarang kami ke daerah apakah akan disambut baik gubernur, bupati/walikota?”

Dalam kesempatan tersebut, Gamawan mengaku masih berstatus pegawai negeri Kemdagri di Sumatera Barat. Ia mengawali karirnya sebagai staf Kantor Direktorat Sosial Politik (Ditsospol) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Barat, Sekretaris Gubernur di Ranah Minang, hingga menjadi Kepala Biro Humas Pemprov Sumatera Barat.

Lalu, Bupati Solok, terpilih kembali sebagai Bupati Solok, menjadi Gubernur Sumatera Barat, dan “naik pangkat” menjadi Mendagri, cita-cita atau ambisi yang biasa dimiliki seorang pamong praja. “Saya termasuk pejabat yang beruntung. Selama pejabat 10 tahun, saya mengalami lima presiden sejak era Pak Harto hingga Pak Yudhoyono. Tidak banyak bupati seperti saya,” kata suami Vita Nova yang dilahirkan di Solok, Sumatera Barat, 9 November 1957.

Lulusan Fakultas Hukum dan Magister Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Andalas (Unand) ini juga merasa beruntung karena mengikuti tiga model pemilihan kepala daerah sejak zaman Orde Baru ketika nyalon menjadi bupati, zaman reformasi dengan sistem multipartai yang dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan pemilihan Gubernur Sumatera Barat yang dipilih langsung oleh rakyat.

Bagi Gamawan, ini kunjungannya yang pertama ke Gedung DPD. Waktu yang lalu, Ketua Komite I DPD mengundang Mendagri tetapi berhalangan karena tengah menuntaskan program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Terpaksalah, tanggal 8 Desember 2009, Komite I DPD raker dengan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemdagri Sodjuangan Situmorang.

Published on 22 June 2010 @ http://www.dpd.go.id

Partai Golkar adalah partai pertama yang mendorong peningkatan ambang batas parlemen (parliamentary threshold (PT)) menjadi lima persen dalam Pemilu 2014. Tujuannya tak lain untuk menyederhanakan jumlah parpol demi efektivitas demokrasi terutama di DPR.   Golkar menilai keinginan menaikkan parliamentary threshold (PT), dari 2,5 persen menjadi 5 persen, sebagai upaya untuk membangun dan memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Sehingga, dengan PT atau ambang batas perolehan suara partai untuk masuk parlemen yang memadai itu, politik di Indonesia kelak tak terpaku pada perdebatan intrik, tapi konsep.

Dengan PT sebesar lima persen, parpol yang bisa menempatkan kadernya di DPR akan menjadi terbatas. Begitu juga parpol peserta pemilu, menjadi kian terbatas. Dengan demikian, pemilih juga tidak akan bingung menjatuhkan pilihan pada parpol yang memiliki visi dan misi yang sama.  Kalau (parliamentary threshold) lima persen, mungkin nantinya hanya sekitar enam parpol yang memiliki wakilnya di DPR dan itu dirasa cukup ideal.

Golkar juga  mengusulkan agar PT cukup diberlakukan di tingkat pusat saja. Untuk di DPRD, belum saatnya diberlakukan.  Adapun keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tentang PT ini sedang dibahas dalam revisi UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melalui  Ketua DPP PPP Lukman Hakim Saifuddin secara pribadi mengatakan, dia lebih cenderung agar PT dipatok 3 persen. “Kalau boleh secara pribadi, saya mau ambil jalan tengah di 3 persen” katanya.  Ia mengusulkan parliamentary threshold atau ambang batas cukup tiga persen saja. Pasalnya, usulan kenaikan ambang batas lima persen akan berbahaya bagi parlemen. Berbahaya karena akan membuka kartelisasi dan oligarki di Parlemen.  Ambang batas sebesar 2,5 persen sebenarnya sudah sangat moderat. Justru, kenaikan ambang batas bisa menurunkan drastis jumlah parpol yang bisa lolos ke DPR. Hasilnya, bisa mengganggu fungsi kontrol DPR.  Check and balances menjadi terganggu, fungsi kedewanan menjadi tidak efektif dan efisien. Jumlah parpol terlalu sedikit tidak dinamis. Checks and balances antara parlemen dengan eksekutif (presiden), menjadi terganggu.

Pengaturan PT ini terdapat dalam Undang-undang Pemilu. Aturan yang berlaku saat ini adalah 2,5 persen yakni hanya partai yang meraih suara minimal 2,5 persen bisa duduk di parlemen. DPR periode ini berencana merevisi aturan ini dengan menaikkannya, sehingga baru berlaku pada Pemilu 2014 nanti.  Konsolidasi demokrasi antara lain dilakukan dengan cara penyederhanaan partai politik.  Karenanya, PT menjadi pengontrol utama mendorong terwujudnya hal tersebut.

Namun, dalam penerapannya kita harapkan jangan sampai membunuh demokrasi. Mengangkat tinggi-tinggi angka PT adalah antidemokrasi. Sebab, hal itu sama saja dengan memperbanyak jumlah suara hangus atau sia-sia. Dengan PT sebesar 2,5 persen pada Pemilu 2009 lalu saja, suara yang terbuang lebih dari 18 juta atau hampir seperlima suara sah. Oleh karena itu, meninggikan PT hanya akan mengurangi legitimasi representativeness DPR. Jangan ada oligarki mayoritas dengan mengatasnamakan rakyat dan demokrasi, sementara yang dilakukan sebenarnya pengebirian suara pemilih yang sah menurut UU.

Kita berharap peningkatan PT sebesar lima persen pada Pemilu 2014, hendaknya bertujuan meningkatkan kualitas pemilu dengan meningkatkan partisipasi rakyat.  Dari pemilu ke pemilu hendaknya ada peningkatan kualitas, bukan hanya sekedar meningkatkan PT dari 2,5 persen menjadi 5 persen saja.

Salah satu ukuran peningkatan,  adalah meningkatnya partisipasi rakyat. Artinya mereka yang mempunyai hak pilih bisa menggunakan hak politiknya, tidak terhambat masalah administrasi yang tidak beres seperti banyak terjadi pada Pemilu 2009 lalu.  Yang urgent harus diperbaiki, adalah DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang masih bermasalah.  Keterbukaan soal pemilih itu diperlukan serta meningkatkan pelayanan agar rakyat bisa menggunakan haknya.

Kita semua berharap apabila  pada akhirnya ketentuan mengenai PT 5% ini di-sahkan oleh DPR, dan semakin sedikit Partai politik, maka akan semakin banyak anggotanya di DPR, sehingga distribusi tugasnya menjadi lebih ringan. Semoga…

DPR meminta jatah Rp15 miliar per dapil yang rencananya dianggarkan dari APBN 2011.  Konon, dana sebesar itu akan digunakan untuk membangun daerah masing-masing.

“Soal anggaran Rp15 miliar per dapil itu baru usulan. Belum dibuat keputusan masuk APBN,”  kata Wakil Ketua DPR Pramono Anung di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (31/5/2010).
Menurut politisi PDIP ini, munculnya wacana tersebut disebabkan banyaknya aspirasi dari daerah yang meminta dana pembangunan. DPR pun menyambut baik usulan itu dan merumuskan dalam konteks penganggarannya.
Hal itu dianggap bagus untuk pembangunan daerah, karena tidak cukup dengan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Rencana tersebut, masih menurut Pramono Anung, akan menjadi ide bagus sepanjang tidak ada permainan dari anggota DPR.  Kalau ada permainan, rencana tersebut justru akan menodai amanat rakyat dan citra DPR.

Usulan alokasi anggaran Rp 15 miliar per daerah pemilihan (dapil) untuk pembangunan di daerah, dinilai mengada-ada. Anggota DPR, yang seharusnya menjadi pengawas anggaran, malah ingin menjadi pelaksana anggaran.

Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen, Sebastian Salang, menilai hal itu antara lain disebabkan banyaknya janji tidak realistis yang disampaikan (calon) anggota DPR saat kampanye.
Janji bangun jembatan yang rusak, jalan yang rusak. Padahal pembangunan itu tugas pemerintah, bukan tugas legislatif. Para anggota DPR itu kemakan janji mereka sendiri.

Ia mengatakan, sikap ngotot yang ditunjukkan sebagian anggota Dewan untuk menggolkan Rp 15 miliar itu juga disebabkan hubungan antara wakil rakyat dan konstituen yang tidak sehat.  Mereka melihat hubungan dengan konstituen hanya dengan duit, agar bisa terpilih kembali dengan membagi-bagi uang ini.
Pro dan Kontra dikalangan Fraksi DPR

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak keras rencana bagi-bagi jatah Rp 15 miliar per dapil untuk konstituen yang dilakukan oleh anggota DPR. PKS menyarankan agar anggota DPR menggunakan uang resesnya untuk membangun dapil masing-masing.
“Harus kita tegaskan, fungsi budgeting DPR adalah penyusun anggaran bukan pemakai anggaran. Wacana mengambil Rp 15 miliar per dapil dari APBN itu sudah salah,” tegas Ketua DPP PKS Mahfudz Siddik.

PKS berpendapat  DPR masih mempunyai anggaran lain yang bisa dialokasikan untuk membantu dapilnya. Misalnya anggaran reses dan anggaran tunjangan lainnya.  Mestinya anggaran reses per dapil itu saja yang dikumpulkan. Setiap reses itu jumlahnya Rp 31,5 juta per-orang. Itu dirasionalisasi uangnya sehingga tidak ada lagi anggaran baru.  PKS juga berharap anggota DPR lebih bijaksana mengambil sikap. Anggaran fasilitas dapil yang diajukan malah memberatkan APBN.

Fraksi Partai Golkar sebagai penggagas awal rencana ini melalui Ketua FPG Setya Novanto,  mengatakan dana sebesar Rp 15 miliar per daerah pemilihan semata-mata untuk pemerataan pembangunan nasional. Dana itu adalah wujud kepedulian DPR terhadap daerah pemilihan (dapil) masing-masing.

Ia mengatakan, gagasan Partai Golkar atas dana aspirasi itu tidak akan bisa diselewengkan anggota DPR. Dengan anggaran itu, maka masyarakat diyakinkan oleh kerja DPR sebagai penyalur aspirasi.  Dengan itu masyarakat akan merasakan kerja DPR.  Artinya, DPR sudah melaksanakan tugasnya dengan baik, berjuang untuk kepentingan dapilnya masing-masing.
Setya yakin semua anggota Fraksi Partai Golkar mampu melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana tersebut jika akan direalisasikan. Dalam rencana, dana sebesar Rp 15 miliar per dapil tersebut diperuntukkan untuk membangun berbagai infrastruktur yang penting untuk rakyat dan daerah. Bagaimana DPR bisa ambil untung, kan dana itu ditetapkan sama besarannya.

Menurutnya, DPR tidak akan bersentuhan dengan uang tersebut, sebab dana itu langsung ke pemerintah daerah dan disalurkan sesuai dengan kebutuhan daerah. Jadi, peran DPR itu hanya memperjuangkannya dalam anggaran, menyampaikan apa yang dibutuhkan daerah. Tetapi, dananya sudah tersedia sebesar Rp 15 miliar itu.   Hingga saat ini, jelas Setya Novanto, pemerintah bersama DPR telah bersepakat membicarakan dengan lebih komprehensif usulan tersebut.

Apa kata para Ahli ?

Pengamat hukum tata negara, Irman Putra Sidin, menjelaskan, negara tidak boleh menggolkan anggaran untuk lembaga negara jika tidak sesuai fungsinya. Peruntukan duit Rp 15 miliar untuk pembangunan daerah, katanya, di luarFungsi LegislasiPengawasan, dan Budgeting anggota Dewan.  Di luar fungsi yang tiga itu tidak boleh!

Mengenai dugaan janji bangun membangun, seharusnya anggota Dewan bisa membedakan mana janji personal dan mana janji konstitusional.  Dan negara jangan menalangi kebodohan itu.

Jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di minta untuk tidak melegalkan praktik percaloan dengan merealisasikan dana alokasi daerah pemilihan (dapil) atau dana aspirasi sebesar Rp 15 miliar.

Apalagi, dana untuk dapil itu bisa menjadi semacam sogokan. Untuk itu, DPR sebaiknya meninjau kembali usulan itu.  Pengamat Politik dari Uni versitas Gadjah Mada (UGM), Ari Sujito mengatakan, kalau alasannya untuk meningkatkan kebutuhan daerah pemilihan maka hal ini melegalisasi politik uang di masyarakat. Bukan kesadaran politik rakyat yang dibangun, tetapi ketergantungan rakyat pada kucuran uang dan alokasi. Kesadaran seperti ini adalah manipulatif, karena berbasis sogokan.

Usulan dana alokasi itu melegalisasi percaloan yang akan dilakukan oleh anggota dewan.  “Hak mengatur nantinya akan diikuti dengan hak menentukan kontraktor pekerjaan. Kalau begini kan anggota dewan kita didorong jadi calo proyek,” ujar Ari.

Mari kita #tolakdanaaspirasi.

Setidaknya, pada tahun 2010 ini akan dilaksanakan 246 pemilihan kepala daerah (pilkada), yang terdiri dari tujuh pilkada gubernur dan wakil gubernur, 204 pilkada bupati dan wakil bupati, serta 35 pilkada wali kota dan wakil wali kota.

Untuk kepentingan itu, telah ditetapkan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2008 tentang Penetapan Perubahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Perubahan UU tersebut, terdapat kemungkinan dilakukannya penggabungan pilkada bagi daerah-daerah dalam satu provinsi yang masa pergantiannya masih dalam kurun waktu 90 hari. Ini telah diujicobakan pada tahun 2008 terhadap 40 daerah.

Pelaksanaan pilkada langsung yang dimulai sejak diberlakukannya UU Otonomi Daerah memang merupakan amanat dari gerakan reformasi yang menghendaki perubahan total dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Realisasi dari salah satu tuntutan itu adalah Amandemen UUD 1945,  yang salah satu implikasinya setiap pejabat publik  (dalam hal ini kepala daerah) mesti dipilih secara langsung.

Tujuan idealnya adalah setiap orang berhak memilih dan dipilih, tidak seperti masa Orde Baru, hanya mereka yang dekat dengan kekuasaan (utamanya militer dan Golkar) yang bisa menjadi kepala daerah, yang mekanisme pemilihannya dilakukan melalui DPRD.

Dari sisi demokrasi, perubahan ini luar biasa. Bahkan Indonesia memasuki fase baru dalam perkembangan demokrasi.   Seluruh elemen rakyat bisa ikut ambil bagian dalam proses demokrasi langsung ini. Tetapi  dari sisi biaya, ongkos demokrasi itu boleh dibilang sangat tinggi.

Muncul perdebatan soal dana demokrasi ini, tapi arus besar menginginkan sistem pemilihan langsung tetap dilaksanakan.  Bahwa biaya untuk penyelenggaraan itu sangat tinggi, merupakan konsekuensi dari pilihan menempatkan demokrasi sebagai pilar kemajuan bangsa. Namun ada juga usulan agar biaya yang besar itu bisa dikurangi atau lebih ditekan.

Sebagai contoh, prediksi biaya penyelenggaraan pilkada 2010 mencapai Rp. 3,54 triliun rupiah.  Biaya ini jauh lebih besar daripada pemilu legislatif tahun lalu yang berkisar di angka 2 triliun rupiah.

Anggaran tersebut pun baru untuk 244 daerah yang akan menggelar pilkada dalam tahun 2010, dan dengan asumsi satu putaran.   Jika di sejumlah daerah harus berlangsung putaran kedua, dipastikan biaya itu membengkak.  Cukup masuk akal apabila Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pernah menyinggung mahalnya ongkos pilkada.  Gamawan bahkan mengusulkan kepala daerah ditunjuk saja oleh Presiden. Tentu saja usulan ini banyak ditentang karena dinilai mundur.

Sebelumnya, Jusuf Kalla, ketika masih menjabat wakil presiden, juga pernah mengungkapkan kegusarannya terhadap siklus penyelenggaraan pilkada yang dinilainya terlalu sering.  Dia mengusulkan, untuk menghemat anggaran, pilkada digabung atau disatukan dalam satu provinsi seperti pernah digelar Provinsi Aceh, yakni pilkada provinsi dan lebih 20 kabupaten.
Untuk kasus Aceh memang bisa dilakukan mengingat hampir sebagian wilayah itu dilanda tsunami. Namun, untuk provinsi lain, agak sulit karena masa jabatan bupati/ wali kota berakhir tidak bersamaan.

Jalan keluarnya, ada kepala daeah yang diperpanjang dan ada juga yang dipangkas masa jabatannya. Semua itu masih sebatas wacana dan belum bisa dilaksanakan karena Komisi Pemilihan Umum tetap memutuskan akan menggelar pilkada sesuai jadwal di semua daerah, sampai revisi UU No. 32/2004 menyeluruh rampung.

Artinya, kita masih akan menyaksikan satu per satu daerah menggelar hajat demokrasi meski dengan biaya amat tinggi.  Pemilihan presiden dan anggota legislatif secara langsung memang memiliki nilai positif.  Di antaranya mampu melahirkan sosok pemimpin yang benar-benar pilihan rakyat. Bukan pemimpin yang dihasilkan dari kolusi segelintir elit dan partai politik. Namun demikian juga memiliki nilai negatif yakni besarnya biaya yang harus dikeluarkan, rawan politik uang, dan munculnya polarisasi di masyarakat.

Masyarakat secara alamiah membentuk komunitas-komunitas. Tak jarang polarisasi tersebut memuncak menjadi konflik fisik yang merugikan masyarakat. Euforia kebebasan berpolitik ini sah-sah saja. Namun, bila tidak diimbangi dengan kedewasaan berdemokrasi para elit politik dan masyarakat maka akan memunculkan kondisi labil yang mengancam stabilitas nasional.

Tingkat Partisipasi Yang Sangat Rendah dari Masyarakat

Indikasi tumbuhnya pragmatisme dan apatisme politik di masyarakat adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik—paling tidak dilihat dari popularitas kader-kader nya, serta semakin menurunnya tingkat partisipasi politik maskarakat.

Beberapa daerah yang telah mengadakan Pemilukada sepanjang 2010 ini harus menelan ‘pil pahit’ dengan rendahnya tingkat pasrtisipasi masyarakat pemilih.  Pada Pemilukada Kota Medan tercatat hanya 35% masyarakat yang ikut memilih.  Di Surabaya hanya 50%,  Trenggalek hanya sekitar 50-60%, Sleman sekitar 70%.  Dan banyak kasus lainnya dimana tingkat partisipasi masyarakat sangat rendah.

Kenapa hal ini bisa terjadi ? diketahui bahwa rendahnya partisipasi politik atau tingginya angka golput berakar dari menurunnya monoloyalitas atau ketergantungan terhadap negara.  Masyarakat menganggap bahwa kehidupan politik tidak melulu berkaitan dengan persoalan pejabat negara.
Monoloyalitas terhadap negara memang bukan ciri kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, keterbukaan dan persamaan hak. Tetapi, tentu ketidakpercayaan terhadap elite-elite politik dan negara merupakan masalah tersendiri dan akan mendatangkan risiko bagi ke hidupan demokrasi.

Mungkin masyarakat kita sudah “lelah” dengan janji-janji yang dilontarkan para peserta Pemilukada terdahulu dimana ketika mereka menang, tidak ada satu-pun janji mereka yang direalisasikan kepada masyarakat.  Memudarnya ketergantungan kepada Pemimpin dari parpol itu berubah menjadi hilangnya kepercayaan akibat degradasi kinerja dan moralitas politik yang ditunjukkan para elite.  Jadi, memberi amunisi kampanye dengan janji-janji, hanya akan berbuah popularitas semu dan akan semakin meningkatkan apatisme politik masyarakat di masa depan.

Menimbulkan Wacana Untuk Kembali Dipilih DPRD

Belakangan muncul kembali wacana untuk mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah dari pemilihan langsung, kembali kepada sistem yang lama, yaitu dipilih oleh anggota DPRD.  Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan, wacana tersebut untuk menanggapi solusi minimnya anggaran Pilkada pada tahun 2010 dan permasalahan yang selama ini timbul dalam proses pelaksanaan Pilkada.
Jika kita kembali me-review alasan pembentukan UU No. 32 tahun 2004 yang mengatur mengenai pemilihan kepala daerah langsung, yang menjadi dasar ialah proses pemilihan kepala daerah yang dipilih melalui DPRD yang diatur UU No. 22 tahun 1999 belum merepresentasikan kepala daerah yang diinginkan oleh masyarakat.

Dalam sistem terdahulu masyarakat merasa aspirasinya terhadap siapa yang akan menjadi kepala daerah tidak diterjemahkan oleh DPRD, disini timbulah kepala daerah dari kalangan elitis atau parpol. Partai yang mempunyai fraksi terbesar atau koalisi fraksi terbesar di DPRD, sudah dipastikan 99% memenangi pemilihan kepala daerah.

Tidak terlalu sulit sebenarnya bagi kalangan elit parpol untuk menjadi kepala daerah dalam sistem ini, caranya cukup mendapat restu dari parpol dan anggota fraksinya. Lazimnya hal ini membutuhkan ongkos yang besar untuk mendapat restu dari parpol beserta anggota fraksinya. Kalau kita bandingkan dengan biaya seorang kandidat untuk memenangi pemilihan kepala daerah langsung saat ini, jelas pemilihan kepala daerah melalui DPRD mempunyai cost politic (bila tidak ingin disebut money politic) jauh lebih murah.

Proses dan hasil pemilihan kepala daerah secara langsung yang terjadi saat ini, realitanya juga tidak seperti yang kita harapkan. Kandidat pemenang pilkada pun juga tidak sesuai dengan harapan masyarakat, hal ini menunjukkan betapa lemahnya mekanisme parpol dalam proses penyaringan calon kandidat. Pada awalnya parpol ibarat kendaraan yang hanya mengantarkan penumpangnya untuk mencapai tujuan, tentu penumpang tersebut harus membeli karcis. Proses tersebut ternyata tidak menuai hasil yang maksimal, karena kandidat hanya memiliki dana tetapi tidak populer.

Parpol kini mulai berubah cara. Cara instan yang kini banyak digemari ialah dengan mencalonkan publik figur yang mempunyai elektabilitas tinggi di masyarakat, dengan cara ini parpol tidak perlu menguras energi untuk memperkenalkan kandidat beserta visi dan misinya.

Konflik horisontal antar masyarakat sering mewarnai Pilkada langsung, belum lagi sengketa atau gugatan hasil pemilu yang menguras energi dan jelas mengganggu stabilitas pemerintahan. Adanya money politic dan cost politic juga kental mewarnai pilkada langsung, dikabarkan seorang kandidat gubernur yang ingin memenangi suksesi pilkada di tahun 2010, harus memiliki anggaran pemenangan sebesar 200 milyar hingga satu triliun rupiah, belum lagi apabila hasil pilkada harus dilaksanakan dalam dua putaran.  Khan lebih baik uang sebanyak itu mereka gunakan untuk mengentaskan kemiskinan didaerahnya masing-masing ?

Apabila pemerintah ingin merevisi UU No. 32 tahun 2004 tentang kepala daerah, yaitu mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD,  ini adalah langkah yang mundur dan tergesa-gesa.

Pertama, masih terlalu prematur untuk menyimpulkan bahwa pilkada secara langsung dinilai gagal dan harus dikembalikan kepada pemilihan kepala daerah melalui DPRD.   Sebuah sistem idealnya tidak akan langsung sempurna, banyak kekurangan dalam pelaksanaan, seharusnya pemerintah memikirkan cara untuk melakukan rekonstruksi sistim melalui pembenahan.

Kedua, apabila anggaran penyelenggaraan pilkada langsung yang menjadi masalah, mengapa tidak dicarikan solusi mengenai anggaran tersebut, ide seperti penggabungan pilkada secara serentak dapat dipertimbangkan oleh pemerintah, tentunya dengan tidak mengurangi nilai dan spirit dalam demokrasi pemilihan langsung.

Ketiga, adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tentang calon independen memberikan hasil yang positif, mengingat semakin banyaknya calon independen yang memenangi pertarungan pilkada langsung. Sehingga metode konvensional “melalui parpol” mulai ditinggalkan oleh para calon kandidat.

Seiring dengan waktu, hal ini akan memacu parpol untuk melakukan pembenahan dalan mekanisme perekrutan bakal calon kepala daerah. Kelemahan krusial apabila pemilihan kepala daerah kembali dilakukan melalui DPRD, ialah adanya ketergantungan kepala daerah dengan parpol maupun anggota DPRD yang memilihnya, hal ini membuat kepala daerah menjadi hutang budi dan tidak berdaulat penuh, sehingga mudah didikte oleh kekuatan-kekuatan tertentu. Tentu juga sistem ini menjadi ladang “pendapatan” baru bagi anggota DPRD.  Seharusnya apapun kekurangannya atas pilkada langsung, pemerintah tetap memberikan kepada rakyat kedaulatan untuk memilih kepala daerahnya secara langsung dan transparan.

IMHO, kalau pemerintah daerah Provinsi adalah kepanjangan tangan pemerintah pusat maka memang Gubernur sebaiknya dipilih melalui mekanisme pemilihan di DPRD.  Selain tidak punya “program utama” selain program pemerintah pusat, pemilihan melalui DPRD memang lebih murah dan lebih kecil potensi konfliknya.

Atau, jika pemerintahan tingkat II (kabupaten/Kota) adalah kepanjangan tangan pemerintah propinsi lebih baik dipilih oleh DPRD kab/kota. Atau bahkan lebih baik jika Bupati/walikota diangkat oleh Gubernur (dengan persetujuan DPRD).  Konflik di tingkat masyarakat  yang berhubungan dengan pemerintah relatif kecil karena atasan dari Walikota adalah Gubernur.

Semua tentu ada plus-minus dan juga pro-kontra. Mungkin harus diadakan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif oleh lembaga-lembaga  penelitian yang kredibel dan independen.

Itulah harga mahal yang harus kita bayar untuk sesuatu bernama “Demokrasi”.