Segera Umumkan Siapa Yang Terima Itu !

Kepala daerah yang belum mengembalikan fee yang diterimanya dari bank daerah bisa dianggap menerima gratifikasi. Jadi jangan kaget kalau sewaktu-waktu bakal dipanggil KPK.

Hal itu perlu dilakukan mengingat masih banyaknya kepala daerah yang belum mengembalikan fee ke kas daerah masing-masing. Padahal sudah  ditegaskan kalau pejabat negara tidak boleh menerima pemberian dalam bentuk apapun.

Apalagi kemarin, KPK menyatakan fee juga mengalir ke pejabat pusat !

Praktik menerima pemberian itu kelihatannya sudah lama terjadi.  Apakah dalam bentuk honor atau fee. Direktur Utama Bank Jabar Banten, Agus Rus wendi mengakui adanya pemberian dana berupa honor fungsionaris kepada kepala daerah dan sekretaris daerah yang di berikan rutin setiap bulan.

“Sebelum ada larangan pemberian fee kepada kepala daerah, memang ada dana yang setiap bulan rutin diberikan kepada kepala daerah dan sekretaris daerah. Pemberian itu disebut se bagai honor fungsionaris, dan ditetapkan berdasarkan surat keputusan.  Sekarang sudah tidak ada lagi pemberian honor semacam itu,” kata Agus saat rapat Pansus Kinerja BUMD DPRD Jabar dengan direksi Bank Jabar Banten, di ruang Badan Musyawarah DPRD Jabar.

Bank Jabar Banten sampai saat ini masih menunggu hasil kajian KPK, atas pemeriksaan data bank tersebut, yang berujung pada munculnya tuduhan bahwa Bank Jabar Banten telah menyalurkan dana fee kepada kepala daerah di Jawa Barat.

Di hadapan Pansus Kinerja BUMD DPRD Jabar, Bank Jabar Banten pun menegaskan, pembe rian fee sudah dilarang dan tidak lagi dilakukan sejak Bank Indo nesia (BI) mengeluarkan aturan yang melarang pemberian fee.

Dalam pertemuan itu, Agus juga membantah Bank Jabar Banten telah memberikan fee dengan nilai total Rp 148 miliar kepada kepala daerah.

Berkaitan dengan pernyataan KPK tentang adanya pemberian feedari Bank Jabar Banten kepa da kepala daerah, Agus menje laskan, sampai saat ini pihaknya masih belum juga mendapatkan penjelasan dari KPK, apa yang disebut sebagai dana fee itu.

Ketua Koalisi Anti Utang (KAU),  Dani Setiawan mengatakan, apa yang dilakukan kepala daerah masuk salah satu indikasi gratifikasi.

“Ini menjadi kebiasaan yang dilakukan bank-bank di daerah kepada kepala daerah untuk memberikan semacam uang yang bukan haknya. Untuk itu sewa jarnya KPK harus menindaklanjuti kasus itu dengan memeriksa mereka,” tegasnya.

Dani menyatakan, kalau ini semacam perilaku.  Kepala daerah menyimpan uang APBD di bank daerah. Atas dasar itulah pejabat daerah mendapatkan imbalan karena memberi keuntungan buat bank tersebut.

Karena itu dia mencurigai, ada ketidakberesan dari pengelolaan dana-dana APBD di daerah-daerah.  Semakin banyak APBD menumpuk, maka bank daerah semakin untung.

Kalau begitu ada indikasi kepala daerah mendapatkan hadiah yang lebih besar kalau dana yang disimpan di bank itu lebih besar.

Pemerintah daerah bukan hanya menyimpan dalam bentuk surat berharga, ada juga semacam sertifikat yang merupakan modus baru bahwa dana APBD banyak ditumpuk di bank daerah. Dengan begitu kepala daerah mendapatkan fee dari dana-dana yang disimpan di bank.

Saya kira harus ada kebijakan komprehensif, bukan hanya me­nindak pelaku gratifikasi atau penikmat dari pelaku suap yakni kepala daerah.

Untuk itu,  kita berharap KPK menunjukkan sikap yang tegas terkait kedudukan keuangan kepala daerah dan wakil kepala daerah.  Harus ada pengawasan yang di lakukan. KPK harus bekerja sama dengan badan terkait lainnya.

Kalau pejabat daerah terindikasi korupsi, mereka memiliki kewajiban untuk mengembalikan yang sudah dikorupsi.  Tapi mereka harus rela menerima konse kuansi hukum dari tindakan yang dilakukan.

Sementara itu, Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI),  Boyamin Saiman mengatakan,  KPK harus tetap tegas terkait pemberian yang diterima kepala daerah.

“Memang harus ada aturan yang mengikat supaya ke depannya tidak terulang lagi,” kata dia.

Meski begitu, Boyamin mengimbau agar ada aturan tegas terkait soal pemberian honor ke muspida. Dia mendesak KPK membuat sebuah rumusan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan pejabat daerah.

“Kalau ada pengaturan kebi jakan semuanya bisa berjalan baik.  Jadi, jangan ada keraguan lagi,” ungkapnya.

Begitu juga dengan nama-nama yang menerima fee tersebut.  Boyamin mendesak KPK untuk mengumumkannya.

“KPK harus memaparkan siapa saja kepala daerah yang terima agar ada transparansi ke publik.  Jangan yang tidak terima dijadikan tameng bagi yang menerima. Segera umumkan siapa yang paling besar menerima fee tersebut,” kata dia.

Seperti kita ketahui  KPK me nemukan sejumlah praktik ilegal yang dilakukan oleh 6 BPD yaitu Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Jawa Barat dan Banten, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.  Mereka diduga menyetorkan sejumlah uang kepada pejabat daerah. BPD Jabar – Banten sebagai penyetor terbesar Rp 148,287 miliar, BPD Jatim Rp 71,483 miliar, Sumut Rp 53, 811 miliar, Jateng Rp 51,064 miliar, Kaltim Rp 18, 591 miliar dan Bank DKI Rp 17,075 miliar.

Peruntukan uang yang disetorkan ke kepala daerah tersebut biasanya digunakan sebagai ucapan terima kasih atas penyimpanan dana APBD di bank daerah.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi memperbolehkan kepala daerah menerima honor dari Bank Pembangunan Daerah. Alasannya, kepala  daerah merupakan pemegang saham BPD dan ikut menentukan berbagai kebijakan BPD.

“Apa tidak wajar kalau diberi honor. Kepala daerah ikut menetapkan anggaran BPD, loan de po sit ratio (ldr), nonperforming loan (npl).  Kepala daerah juga mengikuti rapat pemegang saham dan rapat tahunan BPD,” kata Gamawan.

Gamawan mengaku telah menjelaskan pendapatnya tersebut kepada Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar.  Ketentuan ini juga tidak dilarang Bank Indonesia.

Namun sejak 2006, kata Gamawan, bank sentral hanya meng himbau BPD tak membayarkan lagi honor kepada kepala daerah. “Honor ini bukan termasuk korupsi,” tegasnya.

“Upaya Pengembaliannya Bisa Dengan Paksa”

Anggota Komisi III DPR, Yahdil Harahap meminta KPK mengambil langkah cepat me nyelidiki dugaan pemberian fee kepada kepala daerah.

“Harus diproses cepat karena itu bisa dikatakan korupsi negara. KPK juga harus me ngejar uang yang diterima kepala daerah itu. Upaya pe ngem balian uang itu bisa juga dilakukan dengan paksa,” kata Yahdil.

Menurutnya, sudah ada aturan jelas kalau kepala daerah dilarang menerima pemberian.  Apalagi berkaitan dengan pinjaman daerah kepada bank di daerah.

Terkait fee tersebut, Yahdil menjelaskan,  KPK pernah mema­parkannya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR yang lalu.


“Jika Dibiarkan Akan Berlarut-larut”

Suara keras agar KPK menindak kepala daerah yang diduga menerima fee juga datang dari angota Komisi II DPR, Abdul Wahab Dalimunthe.

“Bagi kepala daerah yang melanggar aturan sewajarnya diusut penegak  hukum.  Jika ini dibiarkan dikhawatirkan akan berlarut-larut,”ujarnya.

Dalam hal ini bukan hanya kepala daerah yang harus diperiksa, yang  menerima juga harus dimintai keterangan.  Harusnya kepala daerah yang dikelilingi perangkat hukum mengerti akan hal itu.

“Kalau Tak Diindahkan Bisa Ke Penindakan”
M Jasin, Wakil Ketua KPK

KPK menyatakan pemberian fee tidak hanya diterima peja bat daerah.  Ada juga pejabat pusat yang menerima itu.

“Ini menyangkut masalah nasional, karena terjadi di seluruh daerah.  Bahkan ada pejabat pusat yang menerima,” kata Wakil Ketua KPK, M Jasin.

KPK, lanjut Jasin, sudah memiliki data mengenai pe jabat yang menerima fee dari BPD.  “Kami tidak bluffing (gertak).  Menurut perspektif saya,  kalau memang tidak diindahkan, kita bisa naikkan ke penindakan,” kata dia.

Berdasarkan penelusuran sementara KPK, ada 6 provinsi yang terbukti ada praktik pe nyetoran fee dari BPD ke pejabat. Nilainya mencapai Rp 360 miliar selama kurun waktu 2002-2008.

Sementara itu, Wakil Ketua KPK, Haryono Umar mengaku masih terus menyelidiki kepala daerah yang menyimpan uang APBD di enam bank daerah.

Menurutnya, saat ini KPK sudah melakukan penyelidikan terkait adanya pemberian fee bank daerah ke kepala daerah di enam propinsi Tersebut.

“Hasil pengungkapan kita menyebutkan, pemberian fee kepada para kepala daerah itu ada yang berbentuk uang, barang dan fasilitas lain yang dibayari oleh bank.  Inikan uang rakyat, harusnya masuk ke kas daerah bukan masuk ke kantong-kantong pribadi,” kata Haryono.

Untuk itu, Haryono mengatakan, KPK saat ini masih menunggu penjelasan dari tim yang dibentuk terkait hal tersebut.  Artinya Pemda punya uang, uang APBD ditempatkan di bank daerah.  Atas simpanan nya itu kepala daerah mendapatkan fee dari penempatan dana tersebut.

Untuk itu, dalam waktu dekat, KPK akan melakukan pertemuan kembali dengan Bank Indonesia (BI) memba has masalah pemberian  fee ini.

“Tapi semua harus ada penjelasan dari tim secara up date. Apalagi BI belum memberikan lampu hijau kapan dilakukan pemeriksaan,” jelasnya.